Perkara SPI Unud: Kekejaman yang Terlalu Dini dalam Menjatuhkan Judul Korupsi Rektor – Deliknews.com

by -86 Views
Perkara SPI Unud: Kekejaman yang Terlalu Dini dalam Menjatuhkan Judul Korupsi Rektor – Deliknews.com

Denpasar – Menanggapi kasus terkait perkara Korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang melibatkan Rektor Prof Gde Antara dan lainnya, pengamat ekosistem dan kebijakan sosial, Agung Pram mengajak semua pihak untuk tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah.

Agung Pram menyarankan agar semua pihak melihat masalah ini secara netral dan tidak terlalu cepat menghakimi bahwa Rektor benar-benar terlibat dalam korupsi. Tindakan yang dilakukan oleh Rektor tersebut sebenarnya didasarkan pada peraturan dari lembaga negara mengenai pengembangan institusi sebagai dasar pemungutan SPI di seluruh Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia.

“Saya pribadi melihat kasus ini sebagai pembelajaran bagi semua pihak. Ada hal yang perlu dipertimbangkan dan ditelaah dengan memprioritaskan independensi, kebijakan organisasi, institusi, dan peran negara. Mari kita semua melihat masalah ini secara netral. Menganggap seseorang sebagai koruptor pada saat ini terlalu kejam dan belum tepat, padahal orang tersebut memiliki niat baik dan berusaha membangun pendidikan dengan gigih. Penegakan hukum harus dibenarkan dengan baik dan jangan sampai keegoisan mengalahkan akal sehat, etika, dan sopan santun,” jelas Gung Pram kepada wartawan di Denpasar Bali, Kamis (02/11/2023).

Lebih lanjut, Gung Pram mengungkapkan bahwa jika melihat hal ini sebagai kasus korupsi, makna korupsi sendiri memiliki banyak penafsiran dalam bahasa dan referensi hukum di Indonesia. Menurut UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat 7 jenis utama dari korupsi.

“Ketujuh jenis tersebut adalah kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Jadi, berdasarkan informasi yang saya baca di media, sepertinya perlu untuk meninjau ulang masalah ini secara netral,” lanjut pria yang memiliki latar belakang pendidikan hukum di salah satu Universitas Surabaya tersebut.

Sebagai seorang pengamat ekosistem dan sosial, Gung Pram menyatakan bahwa masyarakat sekarang lebih sadar akan hukum karena berinteraksi dengan media sebagai bagian dari proses disrupsi digital. Media memiliki peran penting dalam menyampaikan kronologi suatu kejadian, memahami dengan independensi, mengedepankan asas praduga tak bersalah, dan mengelola kebijakan dengan baik. Semua ini harus menjadi referensi yang dapat dipercaya. Ini adalah ekosistem yang kompleks dan berkembang. Netralitas menjadi kunci agar masalah ini menjadi jelas dan menciptakan persepsi positif di masyarakat, ini juga merupakan bentuk edukasi,” tegasnya.

Gung Pram berharap kapasitas Prof Gde Antara sebagai guru besar dan Rektor tetap dihargai dengan landasan asas praduga tak bersalah. Yang harus ditelusuri adalah kausalitas, kewenangan, dan strategi kebijakan yang mungkin memiliki kesalahan dalam implementasi dan risiko.

Jika ini terjadi, maka ada hal mendasar yang harus diperbaiki dan harus disadari bersama, dengan keterbukaan, netralitas, dan kolaborasi yang positif. Tentu saja, banyak intelektual di Indonesia yang bersedia untuk berdiskusi dan mencari solusi terhadap permasalahan dalam pengembangan perguruan tinggi negeri.

“Sebagai individu, saya telah mengurai dan memahami pemikiran masyarakat awam agar tidak ada pemahaman yang bias terhadap pengertian korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 yang mengkategorikan korupsi sebagai penyelewengan kekuasaan demi keuntungan pribadi dan perusahaan. Hal ini perlu ditinjau dan dilihat dalam perspektif yang terintegrasi dengan kausalitas, tujuan, dan kebijakan organisasi atau institusi,” tutup Gung Pram yang juga merupakan alumni ITS dan memiliki sertifikasi dalam bidang engineering, digital, sustainability, serta supply chain dari beberapa institusi dalam dan luar negeri. (*)