Foto: Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Dr Made Pria Dharsana, SH, MHum (Dok pribadi)
Denpasar – Tidak hanya mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Dr Dewa Gede Palguna, SH, MHum yang mengkritisi Kejati Bali telah menggugurkan 5 (lima) audit lembaga kompeten dalam dakwaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) Universitas Udayana (Unud) yang menyeret Prof Gde Antara dkk ke pengadilan, tetapi juga praktisi hukum lain mulai angkat bicara.
Sisi lain Dr Made Pria Dharsana, SH, MHum memberikan pandangan bahwa SPI bukan merupakan uang negara yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
IKLAN
GULIR KE ISI
“SPI adalah biaya awal yang harus dibayar oleh mahasiswa melalui jalur mandiri saat memulai perkuliahan. Oleh karena itu, SPI tidak berasal dari negara, baik APBN maupun APBD,” jelas Pria Dharsana dalam wawancara terpisah dengan wartawan di Denpasar Bali, Senin (30/10/2023)
Lebih lanjut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa ini menjelaskan bahwa definisi keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat menjadi milik negara yang terkait dengan pelaksanaan hak dan kewajiban.
“Apakah uang SPI harus disetor kepada negara untuk kemudian disalurkan kembali dalam bentuk APBN ke Perguruan Tinggi Negeri atau PTN? Tidak, uang SPI dikelola secara mandiri oleh PTN. Jika PTN tersebut berbentuk badan hukum, telah terjadi pemisahan kekayaan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan SPA bukan bagian dari keuangan negara. Jadi, kerugian PTN atas SPI bukanlah kerugian negara,” jelasnya.
Berkaitan dengan adanya kasus korupsi Unud terkait dana SPI yang merujuk pada Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor yaitu dalam konteks memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, Pria Dharsana malah membalikkan pertanyaan.
“Harus diperiksa apakah tindakan Rektor Unud tersebut menyalahgunakan dana SPI yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara?,” tanyanya.
Pria Dharsana menjelaskan, menurut Putusan MK No. 25/PUU XIV/2016 dan Perma 1/2020, frasa merugikan perekonomian negara tidak selalu harus dianggap sebagai faktor pemberat pidana dan harus selalu ada. Unsur merugikan perekonomian negara hanya dapat dibuktikan setelah unsur kerugian keuangan negara terbukti. Oleh karena itu, tidak boleh ada kerugian perekonomian negara tanpa kerugian keuangan negara.
“Oleh karena itu, penyalahgunaan uang SPI bukanlah tindak pidana korupsi karena jelas bukan uang negara. Jika nanti terbukti dalam persidangan terkait penyalahgunaan dana SPI, Rektor PTN Unud dapat dikenai pidana penggelapan dalam jabatan sesuai dengan yang diatur dalam KUHP yang masih berlaku hingga hari ini dan UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang baru berlaku 3 (tiga) tahun setelah diundangkan, yaitu tahun 2006,” tegas Pria Dharsana.
Sebelumnya, Rektor Unud Prof. Nyoman Gde Antara bersama tiga orang lainnya, yaitu NPS, IKB, dan IMY ditahan oleh Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Penahanan dilakukan terkait kasus dugaan penyalahgunaan atau korupsi dana Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) Unud.
“Tersangka INGA disangka melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 9, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 65 KUHP,” jelas Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana, SH, MH melalui keterangan tertulis.
Eka Sabana menambahkan bahwa terkait dengan NPS, IKB, IMY, mereka disangka melanggar Pasal 9, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 65 KUHP.
Dalam waktu 20 hari ke depan, mereka akan ditahan oleh penyidik di Lapas Kerobokan untuk menunggu proses selanjutnya. “Untuk proses selanjutnya, penyidik melakukan penahanan selama 20 hari di Lapas Kerobokan,” tambah Eka Sabana.