Menanti Putusan Hakim dalam Kasus SPI Unud: Siapa yang Salah? – Deliknews.com

by -98 Views
Menanti Putusan Hakim dalam Kasus SPI Unud: Siapa yang Salah? – Deliknews.com

Foto: Agenda sidang kasus dugaan korupsi SPI Unud menghadirkan saksi Wakil Dekan II Bidang Bisnis Universitas Udayana Prof. Ni Luh Putu Wiagustini di Pengadilan Tipikor, Denpasar, Selasa (21/11/2023).

Denpasar – Munculnya pernyataan Hotman Paris sebagai kuasa hukum Prof Gde Antara menyebut, dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU) dikatakan ‘salah orang’ pada perkara penggunaan Sumbangan Pengembangan Institusi Universitas Udayana (SPI Unud) menjadi sorotan publik. Namun dibalik itu, paling dinanti masyarakat adalah menunggu keberanian hakim dalam mengambil keputusan yang dibuat berdasarkan hujjah (dalil-dalil) dan bukti-bukti dikemukakan dalam kasus tertentu dua belah pihak dalam pengadilan.

Dalam sidang lanjutan kali ini begitu memberi angin segar kepada pihak terdakwa Prof Gde Antara, terungkap dari kesaksian Wakil Dekan II Bidang Bisnis Universitas Udayana Prof. Ni Luh Putu Wiagustini menjelaskan, alur panjang proses keuangan yang dirancang untuk kepentingan dana SPI Unud mulai dari proses perencanaan semuanya by system dan transparan. Saksi memastikan semua dana SPI masuk ke rekening Unud.

“Menurut saya, hal tersebut tidak mungkin dana SPI mengalir ke rekening perorangan (Prof Antara) dan alur prosesnya pun sangat panjang. Dana SPI tersebut sepenuhnya digunakan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur sarana dan prasarana Universitas Udayana (Unud) yang terhimpun di rekening Unud,” ungkap Profesor Wiagustini yang juga Sekretaris Dewan Pengawas Badan Layanan Umum Unud di ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar Bali, Selasa (21/11/2023)

Lebih lanjut saksi lainnya adalah WR II, I Gusti Bagus Wiksuana, SE, MS. menerangkan, pungutan SPI itu sah berdasarkan payung hukum Permenristek No 39 tahun 2017 dan sudah dikonsultasikan pada Kementerian Keuangan RI bahwa pungutan itu sah dan tidak ada kerugian negara, sebaliknya malah menguntungkan negara.

Atas keberadaan itu hal mengejutkan disampaikan Penasehat Hukum (PH) Terdakwa, Dr. Hotman Paris menyatakan, ternyata dakwaan JPU salah orang artinya semestinya permasalahan terkait dana SPI merupakan kewenangan Wakil Rektor II, sedangkan Prof Antara pada waktu itu adalah Wakil Rektor I Bidang Akademik dan bahkan tidak memiliki kewenangan terkait Dana SPI.

“Jadi terbukti dalam persidangan bahwa Terdakwa Prof Antara didakwa oleh sesuatu yang diluar kewenangannya, karena ternyata Terdakwa hanyalah bertanggung jawab hanya terkait permasalahan di bidang akademis saja, jadi selama ini seorang profesional doktor ditahan karena sesuatu yang bukan menjadi tanggungjawabnya,” terang Hotman.

Di sisi lain, Penasihat Hukum Agus Saputra, mengemukakan bahwa dari keempat saksi yang dihadirkan JPU, tiga Saksi di antaranya adalah yang menjadi Tim Penentuan Tarif SPI, kesemua saksi justru menjelaskan ketidakterlibatan Terdakwa dalam penentuan tarif SPI. Tim tersebut bekerja untuk memberikan beberapa pertimbangan yang kemudian dijadikan SK Rektor semasa kepemimpinan Rektor Prof Raka Sudewi.

“Pendapat saya, bahwa kesaksian 4 orang tadi menambah keyakinan kami PH terdakwa kalau terdakwa tidak bersalah karena pungutan itu sah dan tidak merugikan keuangan negara,” tandas Agus Saputra.

Untuk diketahui sebelumnya Rektor Unud Prof. Gde Antara (INGA) bersama tiga orang lainnya, yakni NPS, IKB dan IMY ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali. Penahanan dilakukan terkait perkara dugaan penyalahgunaan atau korupsi dana Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) Unud.

“Tersangka INGA disangka melanggar pasal 2 ayat (1), pasal 3, Pasal 9, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 65 KUHP,” terang Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana, melalui keterangan tertulis yang diterima wartawan, Senin (9/10/2023) pekan lalu.

Eka Sabana merinci, terkait NPS, IKB, IMY disangka melanggar Pasal 9, Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 65 KUHP.