Kemerdekaan Pers Terancam oleh Revisi Kedua UU ITE

by -113 Views

Dewan Pers menyatakan Revisi Kedua UU ITE Masih Berpotensi Mengancam Kemerdekaan Pers

JAKARTA, Waspada.co.id – Revisi kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disetujui oleh DPR RI dan Pemerintah pada tanggal 6 Desember 2023 lalu, masih berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi masyarakat.

Revisi kedua UU ITE juga tidak memberikan perubahan yang signifikan terhadap pasal-pasal yang selama ini menjadi ancaman bagi kemerdekaan pers.

Menurut Ketua Dewan Pers, Dr. Ninik Rahayu SH MS, dalam siaran pers tertulis pada Sabtu (9/12), pasal-pasal yang dimaksud antara lain Pasal 27A yang berisi mengenai distribusi atau transmisi informasi atau dokumen elektronik yang memuat tuduhan atau fitnah dan/atau pencemaran nama baik.

Ancaman lainnya terdapat pada Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang mengancam pelaku penyebaran pemberitahuan bohong dan SARA untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Setiap orang yang melanggar pasal-pasal tersebut dapat dihukum penjara selama enam tahun dan/atau denda sebesar Rp1 miliar.

Pasal-pasal yang mengatur soal penyebaran kebencian dan penghinaan itu, menurut Ninik melalui siaran pers Dewan Pers, hari ini, mengingatkan pada haatzaai artikelen dalam KUHP. “Pasal-pasal karet produk kolonial tersebut bahkan dikuatkan dengan KUHP baru sebagai produk hukum nasional, yang sebenarnya sudah tidak boleh diberlakukan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,” ungkap Ninik.

Lebih lanjut, kata Ninik, Pasal 27A, Pasal 27B, dan Pasal 28 ayat (1) pada revisi kedua UU ITE berpotensi mengebiri pers karena karya jurnalistik yang didistribusikan melalui internet terkait dengan kasus-kasus korupsi, manipulasi, dan sengketa, dapat dinilai oleh pihak tertentu sebagai penyebaran pencemaran atau kebencian.

Dengan ancaman hukuman penjara lebih dari enam tahun, pihak kepolisian dapat menahan setiap orang selama 120 hari, termasuk wartawan, atas dasar tuduhan melakukan penyebaran berita bohong seperti diatur dalam revisi kedua UU ITE ini. “Pasal-pasal itu secara tidak langsung dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk membungkam pers, yang pada akhirnya akan mencederai upaya mewujudkan negara demokratis,” tegasnya.

Dewan Pers menilai pasal-pasal UU ITE tidak dapat digunakan terhadap produk pers sebagai karya jurnalistik yang sudah tegas dan jelas diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sedangkan implementasi UU ITE sudah diatur dalam Pedoman Implementasi Undang-Undang ITE Nomor 229 Tahun 2021 berdasarkan Keputusan Bersama Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri.

Pedoman tersebut menegaskan bahwa “untuk pemberitaan di internet yang dilakukan institusi pers, yang merupakan kerja jurnalistik yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, diberlakukan mekanisme sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai lex specialis bukan UU ITE. Untuk kasus terkait pers perlu melibatkan Dewan Pers”.

Namun demikian, Pedoman No. 229/2021 akan menemui tantangan berat karena norma hukum yang memayunginya justru membuka celah penafsiran yang membelenggu kemerdekaan pers.

Dalam proses legislasi revisi kedua UU ITE, Dewan Pers menilai tidak ada transparansi dan keterbukaan untuk melibatkan partisipasi publik secara luas, terutama untuk mendengarkan berbagai masukan dari stakeholder yang berpotensi terdampak.

Hal ini menunjukkan ketidakseriusan lembaga eksekutif dan legislatif untuk melaksanakan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah menjadi UU Nomor 13 Tahun 2022.

Bahkan naskah revisi kedua UU ITE yang baru disahkan oleh DPR dan Pemerintah juga sulit diperoleh.

Dewan Pers mengajak masyarakat dan seluruh komunitas pers untuk mengkritisi revisi kedua UU ITE tersebut. Dewan Pers juga menyerukan seluruh komunitas pers, khususnya, dan berbagai pihak yang potensial terdampak, secara umum, untuk mengambil langkah konkret bersama-sama mencegah terjadinya kriminalisasi pers yang disebabkan oleh UU ITE atau UU lainnya yang masih mengancam kemerdekaan pers. (wol/rls/pel/d2)

Editor AGUS UTAMA