Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

by -65 Views
Military Leadership: Grand General TNI Sudirman

Dengan berbagai keputusan teladannya sebagai Panglima TNI pertama, Jenderal Sudirman telah memberikan warisan yang kuat dan mulia kepada generasi TNI berikutnya: Sebuah tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni.

Beliau meninggalkan TNI sebuah fondasi harga diri dan kebanggaan bagi para pemimpin TNI masa depan. Karakter dan tindakan Pak Dirman saat itu mencerminkan karakter dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati.

Kepahlawanan beliau memberikan reputasi kepada TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Beliau mengokohkan gagasan bahwa prajurit TNI harus berani mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Jenderal Sudirman lahir di Purbalingga pada 24 Januari 1916. Beliau adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah sekolah yang dikelola oleh Muhammadiyah di Solo, saat itu disebut Surakarta. Ketika para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia berhasil meyakinkan penduduk Jepang bahwa mereka harus memperbolehkan warga pribumi Indonesia membentuk organisasi militer pertahanan diri, berbagai organisasi militer disusun di bawah pengawasan ketat Jepang.

Di Jawa, pasukan ini disebut Pembela Tanah Air (PETA). PETA di Jawa disusun di tingkat kabupaten, dan ada sekitar 60 batalyon relawan PETA yang dilatih dan disusun. Komandan batalyon dipilih dari para pemimpin pribumi yang sangat dihormati di kabupaten masing-masing.

Di Purwokerto, seorang kepala sekolah muda dari sebuah sekolah menengah Islam di bawah naungan Muhammadiyah dipilih. Hal ini menunjukkan bahwa, sebagai seorang kepala sekolah muda, Sudirman sudah dikenal dan dihormati karena integritas dan karakter lurusnya. Pemuda dengan pendidikan dan reputasi baik dipilih sebagai komandan kompi dan komandan peleton. Mereka dilatih oleh Jepang di pusat pelatihan perwira di Bogor. Di antara komandan kompi ada nama-nama seperti Suharto, Ahmad Yani, Kemal Idris, Surono, Sarwo Edhie dan banyak nama lain yang kemudian terkenal sebagai pemimpin TNI.

Selama perang, para komandan PETA ini segera mengambil kepemimpinan batalyon mereka dan berikrar setia kepada republik yang baru diumumkan pada 17 Agustus 1945. Sebagai pemimpin batalyon Purwokerto, Sudirman langsung menuju Magelang, salah satu pusat konsentrasi militer sejak jaman kolonial Belanda. Setelah merebut Magelang pada akhir 1945, Sudirman terus mengejar pasukan Inggris yang menduduki Hindia Belanda.

Meskipun Inggris telah merencanakan untuk mundur, unit Sudirman terus-menerus mengganggu pasukan Inggris sehingga kepergian mereka dipercepat. Di mata pejuang kemerdekaan Indonesia, beliau menjadi sosok pahlawan yang mewakili semangat perjuangan TNI yang sengit. Beliau diakui telah mendorong dan mengusir pasukan Inggris dari Magelang dan memimpin serangan Ambarawa terhadap mereka. Ini merupakan pukulan menentukan dalam memastikan bahwa Jawa Tengah berada di bawah kendali penuh Republik Indonesia.

Setelah peristiwa di mana Sudirman mencapai ketenaran dan mendapat penghormatan dari rekan komandan batalyon di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur, Presiden Sukarno, melalui Menteri Pertahanan, menunjuk Urip Sumarjo sebagai Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pertama pada 5 Oktober 1945. Perwira tertinggi Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) saat itu, Urip Sumoharjo, diangkat sebagai Panglima Besar.

Beliau berikrar setia kepada TNI. Beliau dianggap sebagai prajurit aktif yang paling profesional dan berpengetahuan luas di Indonesia. Namun, para pemimpin semua batalyon di Jawa memrotes bahwa mereka tidak ingin memiliki Panglima Besar yang dilatih oleh Belanda. Mereka semua memilih Sudirman sebagai Panglima Besar. Keputusan mereka disampaikan kepada Presiden Sukarno. Untuk menjaga persatuan dan perdamaian republik yang masih muda, Presiden Sukarno mengubah keputusannya. Sudirman diangkat sebagai Panglima Besar TKR, dan Urip Sumoharjo menjadi Kepala Staf Umum di bawahnya.

Pada 19 Desember 1948, meskipun ada perjanjian gencatan senjata di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Belanda melancarkan operasi militer dalam bentuk serangan mendadak terhadap Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia saat itu. Banyak yang menyamakan serangan ini dengan serangan mendadak Jepang terhadap Pearl Harbor pada tahun 1941 atau tikaman di belakang Signor Mussolini kepada Prancis pada tahun 1940. Menghadapi kenyataan ini, banyak pemimpin negara saat itu memutuskan untuk tidak bertahan dan melawan serta membuktikan ketidaklegitiman tindakan Belanda melalui upaya diplomasi dan politik.

Pada akhir 1948 Jenderal Sudirman, Panglima pertama Angkatan Bersenjata Indonesia, menderita tuberkulosis parah. Kesehatannya sangat buruk, dan hanya memiliki satu paru-paru yang berfungsi setelah operasi. Meskipun sakit, Sudirman meninggalkan rumah sakit tempat ia dirawat dan pergi menemui Presiden Sukarno pada awal serangan mendadak Belanda. Beliau menyarankan agar Presiden meninggalkan Yogyakarta bersama Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan memimpin perang gerilya melawan kelompok Belanda. Namun, Presiden Sukarno menolak memimpin perang gerilya.

Sukarno bahkan memerintahkan Jenderal TNI Sudirman untuk tetap tinggal di kota itu karena kondisi medisnya yang parah. Presiden Sukarno, bersama hampir seluruh anggota kabinetnya, memilih untuk tidak meninggalkan kota untuk bertarung dan memberikan sedikit perlawanan ketika pasukan Belanda yang maju menangkap mereka.

Jenderal Sudirman memutuskan untuk meninggalkan Yogyakarta dan melakukan perang gerilya melawan musuh. Berdasarkan catatan sejarah, bisa disimpulkan bahwa rakyat Indonesia sangat kecewa dengan berita penangkapan Presiden, Wakil Presiden, dan Perdana Menteri Indonesia. Namun, perlawanan sengit yang dilakukan oleh Jenderal TNI Sudirman dan pasukannya meningkatkan moral seluruh bangsa, dan TNI akhirnya mendapatkan keunggulan.

Dengan berbagai keputusan teladannya, Jenderal Sudirman telah memberikan kepada generasi TNI berikutnya warisan yang kuat dan mulia, yakni tradisi kepahlawanan dalam bentuk yang paling murni. Kepemimpinannya dalam perang gerilya melawan Belanda meninggalkan fondasi harga diri dan kebanggaan bagi generasi pemimpin TNI masa depan.

Jenderal Sudirman telah menunjukkan bahwa beliau memiliki kepribadian yang kuat dan tidak kekurangan keberanian, sikap tegas, dan semangat pengorbanan yang tulus. Beliau menyadari bahwa ada kemungkinan besar dia bisa terluka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai selama perang gerilya. Namun, beliau memilih untuk mempertaruhkan nyawanya demi kepentingan bangsa Indonesia. Aksinya meningkatkan kepercayaan bawahan dan seluruh rakyat di hadapan serangan Belanda.

Sulit untuk membayangkan bagaimana jika saat itu Jenderal Sudirman juga ditawan oleh Belanda. Sikap dan tindakan Pak Dirman saat itu tak lain adalah sikap dan tindakan seorang pemimpin pejuang sejati. Perbuatan heroiknya telah memberikan reputasi kepada TNI sebagai kekuatan yang tak kenal lelah yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu atau kelompok. Beliau meneguhkan tradisi TNI untuk mengorbankan segalanya demi kehormatan dan kemuliaan bangsa.

Source link