Alasan Mengapa Kurikulum Merdeka Belum Dapat Dijadikan Kurikulum Nasional – Artikel dari Waspada Online

by -154 Views

JAKARTA, Waspada.co.id – Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih, menyoroti kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan sistem pendidikan saat ini. Menurutnya, isu ini harus menjadi fokus utama pemerintah karena sektor pendidikan sangat penting untuk masa depan bangsa.

“Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-65 seharusnya menjadi evaluasi bagi Kemendikbudristek, terutama dalam menanggapi kontroversi yang muncul,” kata Fikri seperti dilansir dari laman republika, Senin (6/5).

Dia mengatakan bahwa salah satu isu yang mencuat adalah penerapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum nasional resmi. Hal ini diatur dalam Permendikbudristek Nomor 12 tahun 2024. Kurikulum Merdeka dianggap lebih baik dari pendahulunya.

“Beberapa pakar menilai bahwa Kurikulum Merdeka belum layak menjadi kurikulum nasional karena belum dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat filosofi Pendidikan dan kerangka konseptual yang menjadi dasar pikiran Kurikulum Merdeka,” kata politikus Partai Keadilan Sejahtera tersebut.

Oleh karena itu, lanjutnya, Kurikulum Merdeka belum teruji secara akademis sebagai solusi atas kehilangan pembelajaran selama pandemi Covid-19. Selain itu, perlu juga dipertimbangkan kemampuan daerah dalam menerapkan kurikulum tersebut dengan merata.

Meskipun demikian, hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 dianggap sebagai keberhasilan Kemendikbudristek dalam menerapkan kurikulum darurat selama pandemi Covid-19. Peringkat PISA Indonesia tahun 2022 naik 5 hingga 6 peringkat dibandingkan dengan hasil PISA 2018.

“Namun, fakta lain menunjukkan bahwa skor PISA Indonesia tahun 2022 dalam bidang literasi membaca, matematika, dan sains juga mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2018, sehingga kesuksesan PISA harus dilihat dari berbagai sudut pandang,” ujar Fikri.

Selain itu, implementasi kurikulum baru juga dibahas di media sosial terkait dengan kewajiban seragam baru bagi siswa dari sekolah dasar hingga menengah. Namun, menurut Fikri, hal ini terjadi akibat kurangnya sosialisasi. Sebenarnya, aturan seragam masih sama seperti yang lama sesuai dengan Permendikbudristek 50 tahun 2022.

Masalah terkait penghapusan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah juga menimbulkan polemik. Namun, Kemendikbudristek membantah hal tersebut dan menegaskan bahwa Pramuka tetap menjadi ekstrakurikuler yang tersedia di sekolah, namun keikutsertaannya menjadi sukarela bagi siswa.

Fikri tetap menyayangkan hal ini karena Pramuka memiliki kontribusi positif dalam pengembangan karakter bangsa. “Secara historis, pramuka berperan besar dalam sejarah bangsa sejak zaman kemerdekaan,” tegasnya.

Selain itu, isu kesejahteraan profesi pendidik seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan juga menjadi sorotan di masyarakat. Ada dua isu yang menjadi perhatian lembaga legislatif, yaitu klarifikasi status sebagai ASN-PPPK serta kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.

“Sebagai pahlawan pendidikan, mereka dihadapkan pada inflasi biaya pendidikan yang sangat tinggi, biaya UKT yang meningkat seiring waktu,” kata Fikri.

Contoh terbaru adalah masalah kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed) yang meningkat hingga 100 persen akibat penerapan Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) dalam Perguruan Tinggi Negeri di bawah Kemendikbud.

“Akhirnya Unsoed membatalkan keputusannya setelah mendapat demo dari masyarakat,” ucap Fikri.

Masalah biaya pendidikan tinggi yang semakin mahal juga menjadi perhatian Fikri, terutama terkait kerjasama penyedia pinjaman online (pinjol) dengan ITB. Meski terlihat sebagai solusi cepat, pembayaran UKT melalui pinjol dinilai merugikan karena bunganya terlalu besar.

Solusi yang paling tepat adalah menyeimbangkan kebutuhan operasional perguruan tinggi negeri dengan pendapatan PTN, terutama di luar APBN.

“Sumber pendanaan PTN sebaiknya melalui kerja sama sponsor daripada membebani mahasiswa, itu adalah tanggung jawab pemerintah sebagai pengelola PTN sesuai dengan undang-undang,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah untuk memberikan solusi komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk memberikan akses kepada guru untuk mendapatkan pembiayaan jangka pendek yang legal, ringan, dan mudah.