BUNG KARNO DAN KECAP NOMOR SATU DI SELURUH DUNIA

by -80 Views
BUNG KARNO DAN KECAP NOMOR SATU DI SELURUH DUNIA

Malaysia tidak mempunyai sejarah kepak manis dan hanya meniru Indonesia dalam pembuatan Kecap Nomor Satu di Dunia. Kurang dari tiga tahun yang lalu, bertempat di Frankfurt Book Fair, Jerman, pameran buku terbesar di dunia, almarhum Bondan ‘Maknyus’ Winarno mempresentasikan buku hasil karyanya, Kecap Manis: Indonesia’s National Condiment. Melalui buku yang dikemas eksklusif, setebal 300 halaman, dan diterbitkan oleh Afterhours Book ini, Bondan ‘memproklamasikan’ bahwa kecap manis merupakan pusaka kuliner asli Indonesia. Buku Bondan dijual dengan harga yang lumayan mahal, Rp 990 ribu. Namun, buku yang membahas secara detail tentang kecap, terutama kecap manis, memang barang langka. “Ini buku juara,” kata Lutfi Ubaidillah, 39 tahun, seorang pengusaha swasta asal Bandung. Lutfi adalah seorang ‘penggemar mati’ kecap, terutama kecap manis. Sejak kecil di Bandung, kecap manis sudah menjadi menu wajib di atas meja makan di rumahnya. Dia termasuk penggemar yang sangat serius terhadap kecap. Dia bukan hanya harus mengonsumsi makanan dengan kecap, tetapi juga merupakan seorang kolektor botol kecap dari berbagai daerah di Indonesia dan memiliki blog khusus tentang Kecap Nomor Satu di Dunia, kecap-kecap asli Indonesia, Wikecapedia.

Semasa hidupnya, Bondan, mantan wartawan yang hobi kuliner itu juga sempat mengoleksi kecap-kecap nusantara. Koleksinya meliputi lebih dari seratus merek, diantaranya Kecap Blitar, Kecap Zebra dari Bogor, Sawi dari Kediri, Bentoel dari Banyuwangi, Kambing Dua dari Singkawang, Kecap Buah Kelapa dari Sumenep, dan Roda Mas dari Banjarmasin. Meskipun tidak banyak penggemar kecap sekaligus kolektor botol kecap seperti Bondan, Lutfi, Chef Alifatqul Maulana, dan Andrew Mulianto, harusnya terdapat banyak penggemar kecap di seluruh Indonesia.

Tak heran jika terdapat ratusan perusahaan kecap yang tersebar dari Medan, Bangka, Garut, Pangandaran, Majalengka, Singkawang, Sumenep di Pulau Madura, hingga Banyuwangi. Bahkan beberapa merek kecap telah bertahan hingga beberapa generasi. Mulai dari merek besar seperti Bango, Indofood, dan ABC, hingga ke industri rumah tangga yang hanya dikenal di daerah tertentu seperti Kecap Cap Pulau Djawa di Pekalongan, Kecap Kentjana di Kebumen, atau kecap Tin Tin asal Garut, Jawa Barat.

Di antara industri kecap turun-temurun tersebut adalah Kecap Maja Menjangan di Majalengka, Jawa Barat, dan Kecap Cap Tomat Lombok dari Tegal, Jawa Tengah. Didirikan oleh Saad Wangsawidjaja pada tahun 1940, usaha kecap Maja Menjangan sekarang sudah diwariskan ke generasi kedua. Dulunya ketika memulai usaha, Saad menjajakan kecap buatannya dengan bersepeda ontel dari satu pasar ke pasar lain di Majalengka dan daerah sekitarnya. Puluhan bahkan ratusan kilometer ditempuhnya agar kecapnya laku terjual.

Meskipun sempat merasakan masa kejayaan hingga tahun 1990-an, kecap Maja Menjangan, serta kecap-kecap lokal lainnya semakin terdesak oleh merek-merek besar. Namun, para pengusaha kecap ini tidak mudah menyerah. Meski terus mengalami kerugian, Suhardi yang sekarang mengelola Maja Menjangan enggan menyerah. Meski perusahaan besar menawarkan kerjasama dan suntikan modal besar kepada pemilik Maja Menjangan dan kecap Tomat Lombok, mereka tetap tidak ingin menyerahkan usaha warisan ini.

Pada pertengahan 1960-an, Presiden Sukarno mengundang sejumlah wartawan di Jakarta ke Istana. Di sela-sela berbincang, Bung Karno berniat mengajak tamu-tamunya bersantap. Namun, di dapur Istana hanya ada sepiring nasi goreng yang sudah dingin dan dua butir telur. Bung Karno terbahak saat mengetahui bahwa hanya nasi goreng dan telur yang ada di dapur Istana. Dia mendesak pelayan untuk membawa sebotol kecap sebagai pelengkap nasi goreng dan telur. Tak lama kemudian, pelayan tersebut membawa sebotol besar kecap. ”Ini kecap paling enak di dunia. Ini kecap dari Blitar,” kata Bung Karno. Meski lahir di Surabaya, Bung Karno dibesarkan di Blitar, Jawa Timur. ”Bagaimana? Enak kan kecapnya?” tanya Bung Karno melihat tamu-tamunya mencicipi kecap tersebut. Selera mengenai kecap ini diturunkan kepada putrinya, Megawati. Megawati sering menitip kecap asli Blitar kepada Djarot Saiful Hidayat, mantan Gubernur Jakarta yang pernah menjadi Walikota Blitar.

Entah kapan kecap datang, dikenal, dan mulai diadaptasi oleh lidah penduduk Nusantara. Kecap, meskipun bukan merupakan resep asli negeri ini, sudah sangat akrab dengan lidah orang Indonesia. Di setiap daerah, setiap pabrik, memiliki resep sendiri dalam pembuatan kecap. Bagi pecinta kecap sejati, setiap merek kecap memiliki ciri khasnya sendiri tergantung dari bahan baku dan juga cara pengolahannya.

Di Korea Selatan, kecap disebut sebagai ganjang. Orang Jepang menyebutnya shoyu, sedangkan orang-orang Melayu menyebutnya kicap. Di negara asalnya, Tiongkok, kecap dikenal dengan nama jiang yu. John Locke, seorang filsuf asal Inggris, mencatat tentang saio, saus kental dari Asia Timur, pada tahun 1679. Sejarahwan William Shurtleff dan Akiko Aoyagi dalam History of Soy Sauce menulis bahwa perusahaan dagang Belanda VOC pertama kali mengangkut shoyu dari Pelabuhan Deshima, Nagasaki, Jepang, ke Batavia di Hindia Belanda, pos dagang utama VOC di Asia Tenggara, pada tanggal 16 Oktober 1647. Kompeni VOC menyebut kecap tersebut sebagai soije. Usia kecap sendiri sebenarnya lebih tua lagi. Menurut beberapa catatan, kecap sudah dikenal di Tiongkok pada abad ke-3. Istilah kecap sendiri, menurut catatan VOC, juga sudah dipakai pada pertengahan abad ke-17.

Tapi masih banyak hal yang tidak diketahui dengan pasti mengenai bagaimana kecap asin yang encer dari Tiongkok dan Jepang, berubah menjadi kecap manis yang kental di Indonesia. Di Indonesia, dari barat hingga timur, kecap manis memang jauh lebih populer daripada kecap asin. Tidak ada informasi pasti mengenai sejak kapan kecap manis diproduksi di Nusantara. Terdapat beberapa pabrik kecap tua yang masih bertahan hingga sekarang, misalnya Kecap Benteng Cap Istana dari Kota Tangerang dan Kecap Cap Orang Jual Sate dari Probolinggo, Jawa Timur. Kedua merek kecap ini telah berusia lebih dari seabad. Namun, tidak dapat dipastikan apakah kedua pabrik tersebut sudah memproduksi kecap manis sejak awal berdiri.

Hampir sepuluh tahun yang lalu, almarhum Bondan Winarno menulis tentang kecap manis dalam bukunya berjudul Kecap Manis: Pusaka Kuliner Nusantara. “Kecap manis dapat disimpulkan merupakan produk khas Indonesia – secara lebih spesifik: Jawa. Di Tiongkok sendiri tidak terdapat kecap manis, begitu juga di negara-negara Asia lainnya,” tulis Bondan. Sebagian besar merek kecap di Indonesia sebenarnya berasal dari berbagai kota di Jawa. Di Malaysia, ada beberapa perusahaan yang memproduksi ‘kicap lemak manis’ seperti Cap Jalen, Cap Kipas Udang, Adabi, dan Mudim. Namun, menurut Bondan, kecap manis dari Malaysia kurang kental dan kurang hitam. Dia menduga bahwa perusahaan-perusahaan Malaysia hanya meniru kecap manis di Indonesia. “Malaysia tidak mempunyai sejarah kecap manis dan hanya meniru Indonesia dalam pembuatan kecap manis.”

Source link