GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

by -66 Views
GRAND GENERAL TNI (RET.) H. M. SUHARTO

Pak Harto adalah seorang yang sangat rajin, disiplin, dan teliti. Saya melihat sendiri kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Setiap hari dia tiba di kantornya tepat pukul 08:00 pagi. Ciri khasnya adalah tulisan rapi dan daya ingat yang kuat, juga dikenal sebagai ingatan fotografi. Dia juga sangat pandai dengan angka. Dia juga seorang pembaca yang tekun. Oleh karena itu, Pak Harto sangat mendorong orang untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan ke luar negeri, meskipun dia sendiri tidak pernah berpendidikan di luar negeri. Dia selalu tersenyum. Dia jarang marah atau jarang terlihat marah. Ketika dia marah, dia akan diam. Dan dia tidak ingin berbicara dengan orang yang marah. Itu beberapa kenangan saya tentang Pak Harto. Saya menjadi menantu Pak Harto pada tahun 1983. Saat itu, saya seorang kapten dan telah melakukan operasi di Timor Timur dua kali. Yang pertama pada tahun 1976 ketika saya adalah Komandan Peleton Grup 1 KOPASSANDHA (sekarang KOPASSUS) dengan pangkat Letnan Dua. Saya bergabung dengan tim Nanggala 10 yang dipimpin oleh Letnan Infanteri Mayor Yunus Yosfiah. Yang kedua pada tahun 1978, ketika saya adalah Komandan Kompi Para-Komando dengan kode Chandraca 8. Pasukan saya saat itu adalah pasukan pukulan langsung di bawah pimpinan komandan sektor. Pertama, saya di bawah Komandan Sektor Timur Letnan Kolonel Infanteri R.K. Sembiring Meliala. Kemudian saya di bawah Komandan Sektor Tengah Letnan Kolonel Infanteri Sahala Rajagukguk.

Pak Harto adalah orang yang sangat rajin, disiplin, tepat waktu, dan teliti. Saya beruntung bisa melihat kehidupan sehari-harinya. Dia bangun sangat pagi setiap hari. Dia tiba di kantornya tepat pukul 08:00 pagi. Pukul 01:00 petang, dia sudah di rumah untuk makan siang. Di sore hari, dia bermain golf tiga kali seminggu. Sementara pada pukul 19:00 dari Senin hingga Jumat, dia akan menerima tamu. Dia makan malam pukul 21:00. Kemudian pada pukul 21:35, setelah siaran berita Dunia Dalam Berita di TVRI selesai, dia masuk ke ruang kerjanya. Ruang kerjanya sangat kecil. Meja kerjanya juga sangat kecil. Memang, jika dibandingkan dengan rumah-rumah saat ini, bahkan rumah saya sendiri, rumahnya relatif lebih kecil. Kamarnya tidak en suite. Itulah mengapa ruang kerjanya sangat kecil. Setiap malam, akan ada tumpukan folder di meja kerjanya yang bisa mencapai tinggi 40-50 sentimeter. Saya mendengar dari ajudannya bahwa setidaknya ada 40 folder dan surat yang dibacanya dan ditandatangani setiap malam dari Minggu hingga Jumat. Hanya pada Sabtu malam yang tidak akan menemukannya di dekat meja kerjanya. Saya sering melihatnya bekerja hingga pukul 01:00 atau bahkan 02:00 pagi. Sementara, dia akan bangun pada pukul 04:30 pagi atau paling lambat pukul 05:00. Kadang-kadang dia hanya mendapat 3-4 jam tidur. Hal ini berlangsung selama beberapa dekade. Kita hanya bisa membayangkan seberapa rajin dan teliti dia. Kualitas khas lainnya adalah tulisan tangannya yang rapi dan ingatan fotografinya. Dia juga sangat pandai dengan angka. Pada tahun 1985, ketika saya baru saja diangkat menjadi Komandan Batalyon Infanteri 328/KOSTRAD, saya pergi menemuinya. Dia kemudian menceritakan kepada saya dengan panjang lebar dan detail pengalamannya dalam membentuk, merekrut, melatih, dan membangun sebuah batalyon tempur. Dia menceritakan pengalaman-pengalamannya sebagai Komandan Regu, Komandan Peleton, Komandan Kompi, Perwira Operasi Batalyon, dan banyak lagi. Dia berbagi banyak teknik dan praktik praktis serta hal-hal yang sangat detail. Dia bahkan dapat mengingat tingkat pendidikan dari masing-masing bawahan mantan. Saya terkejut mendengarkannya. Pada saat itu, sudah 17 tahun sejak dia meninggalkan Angkatan Darat dan 35 tahun setelah tugasnya dalam Perang Kemerdekaan. Kita hanya bisa membayangkan bagaimana seorang Presiden, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan yang mengontrol agenda pembangunan nasional mulai dari pestisida, pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat terbang, pabrik kereta api hingga masalah politik luar negeri, dan yang tidak pernah memimpin batalionnya selama beberapa dekade, masih dengan jelas mengingat pembentukan, perekrutan, dan pelatihan unit-unit militer pada tingkat regu, peleton, kompi, dan batalyon. Saya menerapkan pelajaran-pelajaran yang dia bagikan kepada saya ketika saya menjadi Komandan Batalyon 328. Hal ini membuat Batalyon 328 menjadi sangat handal dan diakui oleh banyak orang sebagai salah satu batalyon terbaik selama bertahun-tahun. Juga karakteristiknya adalah bahwa dia sangat memahami filsafat Jawa dan sejarah nusantara. Pak Harto sering mengartikulasikan kepemimpinannya dengan ajaran kuno dan filsafat Jawa. Ini bisa dimengerti karena seluruh pendidikannya dilakukan di Indonesia, di kampung halamannya di desa Kemusuk di Yogyakarta. Sebagian besar bacaannya berasal dari para cendekiawan Jawa dari abad-abad sebelumnya. Filsafat yang paling sering diajarkannya adalah ojo dumeh, ojo lali, ojo ngoyo, ojo adigang, adigung, adiguna; selain ojo kagetan, ojo gumunan, dan sing becik ketitik sing olo ketoro. Buku yang dia terbitkan, Butir-Butir Budaya Jawa, sangat berguna. Ini adalah kumpulan pepatah, ajaran, dan peribahasa. Buku ini sangat penting untuk memahami psikologi Indonesia dan memahami latar belakang budaya Indonesia karena, tentu saja, budaya Jawa sangat mempengaruhi pandangan Indonesia. Ajaran-ajaran ini bukan hanya slogan belaka. Bagi banyak orang, ini menjadi panduan untuk kehidupan yang sukses, panduan untuk keberadaan yang bahagia dalam kehidupan ini. Ini juga panduan yang sangat praktis, dan sebenarnya, menurut pendapat saya, mereka adalah suara kebijaksanaan yang diwariskan dari masa ke masa. Oleh karena itu, orang yang mengikuti ajaran ini memanfaatkan kebijaksanaan para pendahulu kita, para leluhur, dan para tetua kita. Saya ingin menceritakan satu kejadian ketika Batalyon 328 yang saya pimpin diperintahkan untuk melaksanakan operasi di Timor Timur. Suatu malam sebelum berangkat, saya dipanggil oleh Pak Harto ke kediamannya di Jalan Cendana. Saya memberitahu bawahan-bawahan saya bahwa Pak Harto memanggil saya. Mereka senang. Telah menjadi tradisi bahwa ketika Panglima TNI memanggil seseorang sebelum mereka melakukan misi, Pak Harto akan memberi mereka sangu atau bantuan keuangan khusus. Dana ini bisa digunakan untuk memperkuat logistik, sehingga mengurangi beban para komandan. Saya tiba di Cendana sebelum pukul 8:30 malam. Setelah menerima tamu, dia bertemu saya dan bertanya apakah benar bahwa saya akan melaksanakan operasi esok hari. Saya menjawab ya. Kemudian dia memberi tahu saya, ‘Saya hanya punya tiga pesan untukmu, Bowo. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Simpanlah di hatimu!’ Setelah saya menyatakan bahwa saya siap, Pak Harto dengan lembut menyentuhkan tangan-Nya di kepalaku sebagai tanda berkat, seperti yang selalu dia lakukan kepada anak-anaknya, cucunya, dan orang-orang yang dia cintai, dan membiarkan saya pergi. Setelah kembali ke batalyon di Cilodong, semua perwira menunggu. Mereka menanti kabar baik dari kediaman Pak Harto. Saya memberi tahu mereka bahwa saya hanya bertemu Pak Harto selama lima menit. Dalam pertemuan singkat tersebut, Pak Harto meninggalkan tiga pesan: Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Saya juga memberitahu mereka bahwa, sesaat, saya juga terkejut dan sedikit kecewa. Karena daripada menerima dana, saya hanya diberi tiga pesan. Namun, dalam perjalanan satu jam dari Cendana ke Cilodong, saya memikirkan tentang tiga pesan yang diberikan oleh seorang Komandan yang tumbuh dalam operasi tempur. Pak Harto adalah inisiatif dan pelaksana dari Serangan Umum 1 Maret yang berhasil mengambil alih kendali Yogyakarta selama enam jam pada akhir tahun 1948. Bahkan, pada saat itu, militer Belanda sangat kuat di Jawa Tengah. Dia juga terlibat dalam berbagai operasi penindasan di Sulawesi, seperti pemberontakan Andi Azis. Dia juga memimpin pembebasan Irian Barat sebagai Panglima Operasi Mandala. Dia juga merupakan tokoh kunci dalam menghancurkan pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965. Sebagai Panglima dengan pengalaman tempur yang luas, nasihat Pak Harto tentu harus memiliki arti yang sangat dalam. Pertama, ojo…

Source link