Diplomacy in the Prabowo Era: Legacy and Insights from Prof. Sumitro Djojohadikusumo

by -68 Views
Diplomacy in the Prabowo Era: Legacy and Insights from Prof. Sumitro Djojohadikusumo

Bagaimana Diplomasi Luar Negeri Indonesia Akan Terlihat di Era Presiden Prabowo Subianto?

Sebagai putra dari Sumitro Djojohadikusumo, diperkirakan bahwa banyak strategi diplomatik Prof. Sumitro akan diwarisi dan dilaksanakan oleh putranya, Presiden terpilih Prabowo Subianto.

Pendekatan ini melibatkan pemanfaatan kekuatan naratif dan kekerabatan untuk membangun kekuatan lunak Indonesia.

Dikenal sebagai seorang ekonom Indonesia yang terkemuka, tidak banyak yang menyadari bahwa Prof. Sumitro juga merupakan seorang diplomat yang luar biasa.

Salah satu contoh signifikan dari upaya diplomasi Prof. Sumitro tertuang dalam sebuah artikel New York Times.

Permohonan Sumitro pada usia 31 tahun kepada Pemerintah AS, yang dipublikasikan di New York Times pada 21 Desember 1948, dengan sukses menghentikan aliran dana bantuan Amerika ke Belanda, yang digunakan untuk operasi militer Belanda setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Prof. Sumitro menulis:
“Kampanye militer Belanda saat ini sayangnya membawa pada kesadaran yang mengerikan bahwa dugaan yang dipegang untuk beberapa waktu dalam pikiran semua orang yang baik akan terwujud. Dalam sejarah modern bangsa, hanya tikaman di belakang oleh Signor Mussolini pada tahun 1940 dan serangan tiba-tiba Jepang ke Pearl Harbor pada tahun 1941 bisa dibandingkan dengan tindakan keji Belanda ini tanpa peringatan.”
“Tidak ada alternatif lain bagi Republik Indonesia selain menjalani kehidupan dan melanjutkan sebaik-baiknya sebagai negara merdeka dan berdaulat yang terpisah.”
“Kami dengan hormat namun mendesak meminta Pemerintah Amerika Serikat untuk menghentikan memberikan dolar Amerika kepada Belanda dalam Program Pemulihan Eropa atau yang lainnya.”

Pada waktu itu, Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo Subianto, menjabat sebagai Ketua Pelaksana Delegasi Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Setelah Perang Dunia II, Belanda pada dasarnya bangkrut dan bergantung pada bantuan rekonstruksi Amerika di bawah Rencana Marshall, yang disalahgunakan untuk mendanai operasi militer Belanda di Indonesia.

Sumitro, yang saat itu baru berusia 31 tahun, dipercayakan oleh Presiden Sukarno untuk menghentikan dana Amerika yang digunakan oleh Belanda untuk ambisinya kolonial di Indonesia.

Sumitro melakukan lobi kepada pejabat AS di Washington dan Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York.

Berkat upaya Sumitro, Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett akhirnya menghentikan bantuan ke Belanda, karena klaim Sumitro terbukti: dana tersebut digunakan untuk operasi militer di Indonesia.

Berhentinya bantuan memaksa Belanda untuk bernegosiasi dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar, akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia.

Usia muda Sumitro dan kecerdasannya dalam naratif dan negosiasi, serta keterampilan jaringan internasionalnya, membuat Presiden Sukarno menugaskannya tugas yang begitu penting.

Keberhasilan diplomasi naratif dan kekerabatan Sumitro memainkan peran kunci dalam menjamin kemerdekaan Indonesia pasca proklamasi.

Presiden Sukarno menunjuk Sumitro sebagai Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat pada usia 33 tahun.

Source link