LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

by -42 Views
LEADERSHIP OF INDONESIAN NATIONAL LEADERS [SULTAN AGUNG ADI PRABU HANYAKRAKUSUMA (SULTAN AGUNG)]

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I]

Seringkali, pasukan kolonial tidak perlu pergi berperang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang harus mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi sogok kepada raja-raja yang berkuasa.

Namun, dalam sejarah Nusantara, ada beberapa sultan dan raja yang kesetiaannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan menolak untuk tunduk pada janji-janji manfaat ekonomi dan perhiasan.

Salah satu sultan yang tegas dalam sikapnya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil merebut Batavia dari tangan Belanda, keteguhan dan semangat yang ditunjukkan untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) sudah cukup untuk meyakinkan tempatnya dalam sejarah.

Hingga akhir hidupnya, Sultan Agung tidak menyerah pada tawaran yang dibuat oleh VOC meskipun menarik baginya secara pribadi.

Indonesia telah mengalami ratusan tahun kolonisasi oleh kekuatan asing. Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, dan Jepang telah pada berbagai waktu menguasai Indonesia. Prancis menguasai Indonesia di bawah pemerintahan Napoleon pada masa Gubernur Jenderal Daendels. Daendels diangkat untuk memerintah Indonesia oleh saudara Napoleon, Raja Belanda.

Pada masa prakemerdekaan tersebut, para penjajah mengambil kekayaan kita dengan kekuatan. Mereka menyengsarakan rakyat kita.

Seringkali, pasukan kolonial tidak memerlukan tindakan perang untuk merebut kekuasaan di Nusantara. Terkadang, yang harus mereka lakukan hanyalah memberikan hadiah atau memberi sogok kepada raja yang berkuasa. Jika seseorang mengunjungi museum Belanda saat ini, seperti Rijksmuseum di Amsterdam. Di museum tersebut, seseorang dapat melihat sendiri hadiah mewah Belanda kepada para pemimpin Indonesia saat itu, para sultan dan raja Nusantara, untuk memerintah kepulauan tersebut.

Hadiah-hadiah tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang mereka ambil dari kita. Penjajah memanfaatkan kepolosan beberapa sultan dan raja di Nusantara di masa lalu. Mereka membeli Indonesia dengan harga yang sangat rendah.

Ada beberapa sultan dan raja yang kesetiaannya tidak bisa dibeli oleh Belanda. Mereka memahami strategi ekonomi Belanda, dan menolak untuk tunduk pada janji-janji manfaat ekonomi dan perhiasan. Banyak pemimpin idealis ini akhirnya dihadapi oleh rekan-rekan mereka, yang dibeli oleh Belanda. Beberapa bertindak karena hasutan, berita palsu, dan upaya memecah belah dan berkuasa (divide et impera).

Salah satu sultan Nusantara yang tegas dalam sikapnya melawan Belanda adalah Sultan Agung. Meskipun tidak berhasil membebaskan Batavia dari pemerintahan Belanda, keteguhan dan semangatnya untuk mengusir VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) dari Jawa lainnya memastikan tempat yang agung dalam sejarah. Hingga akhir hayatnya, Sultan Agung menolak untuk berdamai dengan VOC meskipun tawaran mereka menggiurkan.

Sultan Agung Adi Prabu Hanyakrakusuma lahir pada tahun 1593 di Kotagede, Yogyakarta. Ia adalah Sultan keempat Mataram yang berkuasa dari tahun 1613 hingga 1645.

Ia adalah seorang sultan dan komandan yang terampil yang membangun negaranya dan mengkonsolidasikan kekaisarannya menjadi kekuatan wilayah dan militer yang hebat. Sultan Agung dihormati di Jawa karena perjuangannya untuk mempertahankan pulau tersebut.

Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau Raden Mas Rangsang. Ayahnya adalah Raja Mataram kedua, sementara ibunya adalah putri Pangeran Benawa, Raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Raden Mas Rangsang diberi gelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura pada tahun 1624, ia mengubah gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau, Singkatnya, Sunan Agung.

Pada tahun 1641, Sunan Agung mendapatkan gelar Arab – Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram – dari imam Masjid al-Haram di Makkah, Arab Saudi.

Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613. Pada tahun 1614, VOC (yang berbasis di Ambon saat itu) mengirim utusan untuk membujuk Sultan Agung untuk berkerjasama, namun ia menolak tawaran tersebut dengan tegas.

Pada tahun 1618, Mataram dilanda kegagalan panen akibat perang yang berkepanjangan melawan Surabaya. Namun, Sultan Agung menolak untuk berkerjasama dengan VOC.

Sultan Agung mencoba membangun hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC. Namun, hubungan ini terputus pada tahun 1635 karena posisi lemah Portugis.

Seluruh pulau Jawa pernah berada di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia, yang masih diduduki oleh militer VOC-Belanda. Pada saat itu, Banten telah diserap budayanya. Wilayah di luar Jawa yang berhasil ditundukkan Kesultanan Mataram adalah Palembang di Sumatra pada tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan pada tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, kerajaan terkuat di Sulawesi saat itu.

Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan agung melalui kekuatan militer, budaya bangsanya yang mulia, dan pengembangan ekonomi, terutama dengan diperkenalkannya sistem pertanian.

Source link