Pada awal bulan ini, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif resiprokal yang mengejutkan dunia internasional. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, dikenakan tarif sebesar 32% sebagai bagian dari kebijakan tersebut. Tetapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan tarif resiprokal?
Menurut Trump, tarif resiprokal mengacu pada prinsip saling memberlakukan tarif. Artinya, jika suatu negara memberlakukan tarif pada AS, maka AS juga akan memberlakukan tarif serupa pada negara tersebut. Dalil ini ditegaskan Trump kepada CBS News.
Kebijakan tarif ini diambil dengan tujuan untuk meningkatkan produksi manufaktur di AS. Selain itu, hal ini juga bertujuan untuk menyamakan posisi AS dengan negara lain yang memberlakukan tarif lebih tinggi pada AS daripada yang diterima sebaliknya. Penjelasan dari CBS News mengungkapkan bahwa tarif resiprokal ini akan mengenakan pajak yang sebanding pada impor AS dengan tarif yang diterapkan oleh negara lain pada ekspor AS untuk jenis produk yang sama.
Meskipun tujuan kebijakan ini adalah untuk mencapai kesepakatan dagang yang menguntungkan AS, namun pengenaan tarif resiprokal dapat menimbulkan kekompleksan dalam menetapkan tarif pada berbagai kategori produk. Hal ini karena tidak semua negara dan produk dapat dinilai dengan ukuran yang sama.
Pendekatan yang dipilih Trump dalam mengenakan tarif juga berpotensi memberikan dampak besar pada perekonomian AS di masa depan. Ketidakpastian kebijakan ini juga bisa memicu pembalasan dari negara-negara lain, yang pada akhirnya bisa merugikan semua pihak yang terlibat dalam perdagangan internasional.
Dengan demikian, kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Trump memang bertujuan untuk merangsang kegiatan manufaktur di dalam negeri, namun juga membawa konsekuensi yang kompleks dan dampak jangka panjang yang perlu dipertimbangkan secara matang.