QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

by -70 Views
QUALITIES OF TRUE MILITARY LEADERS

Para mentor saya dari generasi ‘45 adalah pemimpin lapangan, komandan kekuatan tempur, dan pemimpin militer. Ada lima hal yang saya pelajari dari mereka yang telah membentuk kepribadian saya: Pertama, Patriotisme, cinta mereka pada tanah air tidak pernah pudar meskipun usia mereka bertambah; Kedua, Keyakinan; Ketiga, Intelektualitas, mereka adalah pembelajar seumur hidup dan sangat antusias untuk belajar tentang hal-hal di luar bidangnya; Keempat, Humor yang Baik, yang memungkinkan mereka untuk terhubung secara emosional dengan bawahan dan orang-orang yang mereka pimpin; Kelima, Fleksibilitas, mereka tidak terlalu terikat oleh protokol.

Sikap dan kepemimpinan seorang pemimpin militer terbentuk di medan perang. Sebagai seorang perwira muda, saya sangat beruntung telah menerima pendidikan, pelatihan, pengasuhan, dan mentorship dari banyak tokoh perang kemerdekaan dan operator militer di awal Republik Indonesia. Pada saat itu, tidak ada jaminan bahwa Republik bisa bertahan. Pemerintah tidak memiliki anggaran, baik untuk pembangunan maupun untuk militer. Bangkitnya bangsa ini semata-mata ditentukan oleh puluhan ribu rakyat Indonesia dari berbagai suku, ras, suku bangsa, agama, dan wilayah. Mereka dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan gelombang kemerdekaan atau bermain aman karena risikonya terlalu besar. Namun banyak yang memilih untuk mempertaruhkan nyawa mereka untuk berjuang demi kemerdekaan agar kita akhirnya bisa bebas dari belenggu kolonialisme yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka inilah yang kita kenal sebagai generasi ‘45. Mereka adalah ‘generasi pembebas’.

Mereka dapat dianggap sebagai generasi terbaik Indonesia. Sebagai seorang taruna di Akademi Angkatan Bersenjata dan kemudian sebagai seorang perwira muda, saya merasa sangat beruntung untuk memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak tokoh dari generasi ‘45. Bahkan beberapa anggota keluarga saya adalah bagian dari generasi ini. Kakek saya, Margono Djojohadikusumo, dipercayai oleh Bung Karno untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan ketika Bung Karno dan semua tokoh nasionalis pribumi ditangkap dan diasingkan oleh Belanda dari Jawa pada tahun 1934. Satu hari sebelum Bung Karno akan diasingkan ke kota kecil Ende, di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, ia memanggil Pak Margono. Bung Karno memberikan mandat kepada kakek saya untuk membantu mendirikan Partai Indonesia Raya (PARINDRA) dan pada saat yang sama menjabat sebagai ketuanya. Pada saat itu, Partai Nasional Indonesia (PNI), partai utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dibubarkan oleh Belanda. Hampir semua tokoh utamanya ditangkap. Ketika Bung Karno tiba di Jakarta setelah dibebaskan oleh Belanda dari pengasingan, Pak Margono segera pergi untuk menemuinya dan mengembalikan mandat tersebut. Demikian pula, kedua putranya, Kapten Subianto Djojohadikusumo dan Taruna Sujono Djojohadikusumo juga merupakan bagian dari generasi ’45. Kedua paman saya tewas dalam pertempuran melawan tentara Jepang di Lengkong, Serpong, Tangerang Selatan, Banten pada 25 Januari 1946. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Pertempuran Lengkong, para taruna Akademi Militer Tangerang yang dipimpin oleh Mayor Daan Mogot berusaha merebut senjata dari sebuah pangkalan Jepang. Namun, hampir semua taruna tewas dalam pertempuran, termasuk komandannya dan kedua pamanku. Pada saat yang sama, ayah saya, Soemitro Djojohadikusumo, setelah kembali dari Belanda sebagai orang Indonesia pertama yang memiliki gelar Doktor Ekonomi, yang diperolehnya dari Universitas Rotterdam, langsung bergabung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ia terlibat dalam penyelundupan karet dan kopra keluar dari Indonesia untuk mendanai penyelundupan senjata ke negara itu guna mendukung pasukan Indonesia. Ia juga sangat berperan dalam mencetak uang kertas Indonesia pertama yang dikenal sebagai ORI (Oeang Republik Indonesia). Pada usia 29 tahun, ia menjadi asisten pribadi Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Saya lahir pada tahun 1951, sepuluh bulan setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Kenangan pertama saya sebagai seorang anak adalah ketika mengunjungi Taman Makam Pahlawan (TMP), di mana kedua paman saya dimakamkan, dan mengunjungi rumah kakek saya pada hari Minggu. Kakek saya selalu mendirikan tenda militer paman saya di halaman sebelum saya tiba. Itu adalah bagian yang selalu menyambut saya. Kakek saya juga menunjukkan saya dua tempat tidur paman saya, ransel, dan helm yang ia simpan. Bahkan seragam mereka masih rapi dilipat, dan sepatu militer mereka yang diletakkan di ujung tempat tidur selalu bersinar. Secara halus, kakek dan nenek saya menunjukkan seberapa banyak mereka menghargai dan menghormati pengorbanan paman mereka yang gugur demi kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia. Dari situlah muncul semangat ’45 yang disebut. Ini adalah semangat yang bertujuan untuk menjadikan Indonesia menjadi negara mandiri, yang dihormati, dan adil, dengan warga negara yang makmur dan bahagia yang setara dengan bangsa lain. Suasana inilah yang, secara tidak sadar, menjadi bagian dari transfer nilai dari generasi ’45 ke generasi berikutnya, termasuk kepada saya. Keluarga saya adalah keluarga generasi ’45. Saya dibesarkan dalam lingkungan pejuang kemerdekaan. Sering disebut sebagai lingkungan ‘republiken’, menggunakan terminologi waktu itu. Generasi ’45 naik menjadi terkenal karena mereka tidak ingin diperlakukan lebih rendah dari anjing oleh penjajah. Di masa lalu, mereka biasa mendengar kalimat verboden voor Honden en Inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk) dan melihatnya tertulis di dinding banyak tempat usaha. Bahkan pada tahun 1978, ketika saya menjabat sebagai Komandan Kompi di Grup 1 Pasukan Khusus (KOPASSUS), saya menemukan kalimat ini di sebuah kolam renang di Manggarai, Jakarta Selatan. Itu diukir di dinding marmer di samping kolam renang. Namun, pada saat itu, tulisan itu tertutup lumut hijau. Rasa penasaran saya mendorong saya untuk memerintahkan anak buah saya untuk membersihkan lumut tersebut. Dan dengan kejutannya, jelas seperti siang hari, adalah frase Belanda: Verboden voor Honden en Inlanders. Anjing dan pribumi tidak diizinkan masuk ke kolam renang ini. Apa yang lebih menyakitkan lagi, kami, para pribumi, ada di bawah anjing. Pada saat itu, Belanda menganggap anjing lebih terhormat daripada kami, para pribumi tanah ini. Selain tumbuh dalam keluarga pejuang kemerdekaan, saya juga beruntung untuk berinteraksi langsung dengan tokoh-tokoh kunci dari generasi ’45. Saya sering mengunjungi rumah Pak Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama. Pak Margono dulu pernah menjadi sekre…

Source link