BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

by -47 Views
BRIGADIER GENERAL TNI POSTHUMOUS I GUSTI NGURAH RAI

Oleh: Prabowo Subianto [diambil dari Buku: Catatan Kepemimpinan Militer dari Pengalaman Bab I: Pemimpin Teladan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia]

Setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, I Gusti Ngurah Rai datang ke Yogyakarta atas inisiatifnya untuk bertemu dengan Jenderal Sudirman. Ia meminta mandat dari Jenderal Sudirman untuk membentuk Tentara Republik Indonesia (TRI) di Bali dan Nusa Tenggara, yang disebut dengan Sunda Kecil.

Kemudian ia kembali dan merekrut pasukan serta mulai melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda yang dipasang di akhir Perang Dunia II untuk merebut kembali Bali. Sejak pendudukan Jepang pada tahun 1942, I Gusti Ngurah Rai telah mengumpulkan pemuda-pemuda Bali yang bersatu dalam Gerakan Anti Fasis (GAF).

Pada bulan September 1946, Belanda mengambil inisiatif menyerang. Dan pada tanggal 19 November 1946, Belanda berhasil menyerang dan mengepung pasukan yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai di Desa Margarana dekat Ubud.

Belanda mengirim utusan untuk meminta I Gusti Ngurah Rai menyerah. Jika ia menyerah, ia beserta pasukannya akan diampuni. Tawaran tersebut datang dari Kapten Infanteri Belanda JBT Konig, salah satu perwira Batalyon Infanteri KNIL Gajah Merah, pasukan Belanda yang diperintahkan untuk menduduki Bali.

JBT Konig pernah dekat dengan I Gusti Ngurah Rai. Konig adalah salah satu perwira KNIL yang mengawasi Pendidikan Calon Perwira Prajoda di Gianyar, Bali sebelum kedatangan Jepang. I Gusti Ngurah Rai pernah bergabung dengan Prajoda sebelum pecah Perang Pasifik.

Pada suatu waktu, I Gusti Ngurah Rai bahkan menyelamatkan Konig dan seorang perwira KNIL lainnya dengan membantu mereka melarikan diri ke Jawa saat Jepang mulai invasi. Meskipun demikian, I Gusti Ngurah Rai menolak tawaran menyerah kepada Belanda, meskipun tawaran tersebut datang dari Konig, mantan atasannya. Untuk menjaga semangat pasukan Indonesia di bawah komandonya, I Gusti Ngurah Rai tidak menjawab surat dari Konig.

Jawaban I Gusti Ngurah Rai ditujukan langsung kepada atasan Konig, Letnan Kolonel Belanda Termeulen, pada tanggal 18 Mei 1946.

“Merdeka. Kami telah menerima tawaran Anda. Kami dengan ini memberikan jawaban sebagai berikut: Keamanan Bali adalah tanggung jawab kami. Sejak kedatangan pasukan Anda, pulau ini menjadi tidak aman. Keamanan telah terganggu karena Anda mengkhianati kehendak rakyat yang telah menyatakan kemerdekaannya. Mengenai tawaran untuk bernegosiasi, kami serahkan kepada kebijaksanaan para pemimpin di Jawa. Bali bukanlah tempat untuk pembicaraan diplomatik. Saya tidak dalam posisi untuk berkompromi. Atas nama rakyat Bali, saya hanya menginginkan lenyapnya Belanda dari pulau Bali atau jika tidak, saya bisa menjanjikan Anda bahwa kami akan terus bertempur sampai tujuan kami tercapai. Jika Anda memilih untuk tinggal di Bali, pulau Bali akan menjadi pertempuran darah antara pasukan Anda dan kami.”

Itulah jawaban dari I Gusti Ngurah Rai.

Demikianlah keteguhan I Gusti Ngurah Rai dalam menghadapi penjajah Belanda. Suratnya mencerminkan jiwa patriotiknya dan ketidakkehendakannya untuk berkompromi dalam pengabdian memerangi penjajah.

Ia menjawab tawaran dari Belanda untuk menyerah dengan teriakan “Puputan, Puputan”, yang berarti semuanya. Oleh karena itu perang ini disebut pertempuran Puputan di Margarana, atau “perang tanpa kompromi”.

Pada tanggal 19 November 1946, di Desa Margarana dekat Ubud, I Gusti Ngurah Rai memimpin pasukan TNI (saat itu dikenal sebagai TRI) dalam pertempuran sengit melawan pasukan Belanda. Selama beberapa hari, Belanda terus melakukan pengepungan terhadap desa tersebut.

Meskipun menghadapi pasukan Belanda yang personel dan persenjataannya jauh lebih canggih dan bahkan didukung oleh pembom taktis, I Gusti Ngurah Rai, Komandan Resimen TRI Sunda Kecil (setara dengan tingkat pangdam saat ini), dan pasukannya terus bertempur tanpa henti.

Pertempuran sengit dimulai di pagi hari hingga akhirnya, tidak ada lagi tembakan dari pihak Indonesia pada sore hari. Seluruh pasukan TRI dalam pertempuran tersebut telah tewas, termasuk Komandan Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Ngurah Rai, dan Kepala Staf Resimen TRI Sunda Kecil, I Gusti Putu Wisnu.

Sikap dan tindakan I Gusti Ngurah Rai beserta pasukannya memberikan tradisi kepemimpinan militer yang luar biasa dan memotivasi bagi generasi TNI selanjutnya. I Gusti Ngurah Rai memimpin dengan contoh, memimpin dari garis depan, dan membuktikan patriotisme dengan mengorbankan tubuh dan jiwanya.

Source link