Porwanas di Persimpangan: Antara Kebanggaan dan Kehilangan Makna – Waspada Online

by -37 Views
Porwanas di Persimpangan: Antara Kebanggaan dan Kehilangan Makna – Waspada Online

*Catatan Austin Tumengkol

Waspada.co.id – Pekan Olahraga Wartawan Nasional (Porwanas) telah lama menjadi ajang bergengsi bagi para wartawan di seluruh Indonesia. Sebagai wadah untuk mempererat solidaritas, menjalin relasi antar-wartawan, dan mengedepankan semangat sportivitas, Porwanas memiliki posisi istimewa dalam dunia pers.

Namun belakangan ini, ajang yang seharusnya menjadi pesta olahraga wartawan ini mulai kehilangan esensinya, perlahan-lahan berubah dari kompetisi murni menjadi ajang yang dipenuhi kepentingan lain. Indikasi atas kepentingan ini pun kian terkuak seiring berlangsungnya Porwanas di sejumlah provinsi.

Salah satu isu yang mencuat adalah adanya profesionalisasi di dalam tim-tim yang berpartisipasi. Dalam beberapa tahun terakhir, muncul laporan bahwa beberapa tim mengikutsertakan atlet profesional alias menjadikan atlet sebagai wartawan semata-mata agar bisa ikut berkompetisi.

Hal ini jelas bertentangan dengan semangat Porwanas yang seharusnya menjadi arena bagi wartawan, bukan atlet! Penggunaan atlet profesional mencederai sportivitas dan mengaburkan esensi dari ajang ini sebagai sarana kebersamaan dan penghargaan terhadap kerja keras wartawan yang sejatinya bukan atlet.

Porwanas yang dahulu menjadi panggung para wartawan unjuk kemampuan fisik dan mental, kini mulai diwarnai dengan praktik-praktik yang menggerus semangat awalnya. Sebagian besar peserta yang hadir bukan lagi murni wartawan, melainkan mereka yang datang dengan berbagai kepentingan tertentu. Hal ini membuat kita bertanya-tanya, apakah Porwanas masih mencerminkan nilai-nilai sportivitas dan silaturahim yang diusung ketika pertama kali digelar?

Keterlibatan pihak-pihak non-wartawan dalam ajang ini kian menimbulkan polemik. Kehadiran mereka, yang tidak memiliki latar belakang jurnalisme, mengurangi esensi dari Porwanas itu sendiri. Bagaimana bisa sebuah ajang yang diperuntukkan bagi para wartawan diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki hubungan langsung dengan dunia pers? Ini bukan hanya mencederai semangat kompetisi, tetapi juga menurunkan kredibilitas Porwanas sebagai ajang olahraga nasional yang prestisius di kalangan wartawan.

Miris rasanya, setiap Porwanas digelar ada saja informasi yang didapat bahwa terdapat oknum dari kontingen tertentu yang memang bukan dari kalangan wartawan. Ditambah lagi oknum tersebut mampu menoreh prestasi medali emas yang memang menjadi tujuan para atlet tersebut ‘diwartawankan’.

Porwanas XIV di Banjarmasin, Kalsel pada 19-25 Agustus 2024 mempertandingkan 12 cabang olahraga dan diikuti ribuan wartawan anggota PWI se-Tanah Air. Muncullah pertanyaan ‘bagaimana para atlet tersebut bisa lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai salah satu syarat wajib bisa tampil di Porwanas?’

Apakah kualitas para atlet wartawan tersebut memang layak dinyatakan kompeten berdasarkan materi uji yang ada? Apakah para penguji benar-benar objektif dalam penilaiannya atau integritas mereka ‘goyah’ karena adanya arahan untuk meluluskan para atlet wartawan tadi?

Patutkah kualitas pengujinya dipertanyakan? Bisakah kertas kerja peserta saat UKW dipertanggungjawabkan si penguji di pusat? Entahlah, faktanya para atlet wartawan leluasa bertanding di Porwanas dan meraih prestasi bagi provinsinya.

“Itu nomor 15 kok lengket kali giring bolanya?”

“Kenceng amat lari nomor 10, nggak ada capeknya. Kita aja 5 menit dah minta ganti,”

“Bisa begitu ya tendangannya? Mana ada wartawan kayak begitu mainnya?!”

Itulah sepenggal ucapan, sindiran maupun keluhan yang terdengar di GOR Borneo saat gelaran cabor futsal baik U-27 maupun U-40 tahun bertanding. Tak sedikit pula pertanyaan-pertanyaan serupa muncul di cabor lainnya, seperti tenis meja, atletik, dan biliar.

Kalah menang itu biasa dalam olahraga, namun bila kemenangan diraih dengan cara tidak sportif tentu rasanya masih ada yang ‘nyangkut’ istilahnya. Belum lagi terlihat perbedaan jauh akan kualitas para atlet wartawan dengan wartawan asli, terkhusus di cabang olahraga fisik. Tapi sudahlah, permasalahan tiap Porwanas biasanya ini-ini juga dan tak kunjung tuntas hingga terulang lagi di event berikutnya.

Selain itu, munculnya indikasi adanya kepentingan politik dalam pelaksanaan Porwanas juga semakin mengkhawatirkan. Beberapa pihak menggunakan ajang ini sebagai sarana untuk memperluas pengaruh dan jaringan, yang pada akhirnya mengaburkan tujuan utama dari Porwanas itu sendiri. Bukankah Porwanas seharusnya menjadi ajang yang netral, jauh dari intervensi politik, dan hanya berfokus pada peningkatan kualitas serta kebersamaan para wartawan?

Perlu juga dicermati bahwa perubahan ini berdampak pada partisipasi wartawan yang benar-benar ingin bertanding dan berkompetisi secara sehat. Semakin banyak wartawan yang merasa enggan untuk ikut serta karena merasa Porwanas sudah tidak lagi relevan dengan tujuan awalnya. Ini tentu menjadi alarm bagi penyelenggara untuk segera evaluasi menyeluruh.

Beberapa rekan wartawan asal provinsi lain pun turut mengkhawatirkan penyelenggaraan Porwanas dinilai sudah bergeser dari tujuan semula digelar. Setiap PWI provinsi sudah mulai mengejar prestasi dan segala cara dihalalkan. Untuk mengembalikan kemurnian Porwanas, dibutuhkan komitmen bersama dari semua pihak terkait.

Penyelenggara harus lebih selektif dalam memilih peserta, memastikan bahwa yang berpartisipasi benar-benar berasal dari kalangan wartawan. Selain itu, perlu ada pengawasan ketat agar ajang ini tidak disusupi oleh kepentingan lain yang bisa merusak semangat sportivitas dan kebersamaan.

Porwanas adalah milik para wartawan dan seharusnya tetap menjadi ajang yang memprioritaskan nilai-nilai luhur yang diusung sejak awal. Jika tidak, kita hanya akan melihat Porwanas sebagai acara kumpul-kumpul formalitas para wartawan yang kehilangan esensinya, dan itu adalah kehilangan besar bagi dunia pers di Indonesia. ***

*Penulis adalah Wakil Ketua PWI Sumut Bidang Media Siber & Multimedia dan Dosen STIK-P Medan