Suasana jeda di sore yang basah dan mendung di Samosir seolah menciptakan latar belakang dramatis bagi kisah Butet Sitorus. Dalam keheningan, ia duduk memeluk buku Iqra’ sambil memandangi bangunan Madrasah Ibtidaiyah yang kini terkunci. Bersama rekan-rekannya, anak-anak kecil yang belajar mengenal Tuhan lewat Alquran turut menangis di depan sekolah yang tertutup.
Genangan air mata tak bisa lagi Butet tahan. Air mata juga tak jarang mengalir di pipi-pipi lugu rekan-rekannya. Mereka bukan menangis karena luka fisik, melainkan karena harapan untuk belajar mengaji telah direnggut secara perlahan dan menyakitkan. Hari itu, Kamis (10/4), siswa Madrasah Ibtidaiyah terpaksa dipindahkan ke Kantor KUA Pangururan sejak awal Ramadhan hingga April 2025.
Madrasah Ibnu Sina Samosir hampir kehilangan tempat setelah pemilik rumah sewa memutus kontrak tanpa alasan. Meski hak sewa masih berlaku, anak-anak muslim di minoritas Pulau Samosir menjadi korban perlakuan sepihak. Langkah mendirikan gedung sendiri juga tidak mudah. Permohonan IMB ditolak oleh pihak berwenang pada Oktober 2021, menutup harapan bagi yayasan.
Rapat dengan pemerintah daerah, Kementerian Agama, dan tokoh masyarakat diadakan untuk mencari solusi. Namun, syarat-syarat yang ditetapkan terasa menyakitkan. Yayasan diminta menjumpai perwakilan masyarakat satu per satu, namun hasilnya hanya lempar tanggung jawab dan sikap saling menghindar. Harapan menipis bagi puluhan anak yang hanya ingin belajar mengaji untuk masa depan mereka.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Yayasan Ibnu Sina Samosir tidak menyerah. Mereka masih berjuang untuk mendirikan tempat suci bagi pendidikan anak-anak. Dengan kerendahan hati, mereka memohon dukungan dari para pemangku kepentingan. Hingga saat ini, Butet Sitorus dan rekan-rekannya masih menanti cahaya harapan agar bisa kembali belajar mengaji di Madrasah Ibnu Sina Samosir.