Tindakan premanisme yang dilakukan oleh ormas terhadap dunia usaha dan masyarakat luas menjadi perhatian serius. Banyak pelaku usaha merasa takut untuk berinvestasi karena khawatir akan dipalak oleh praktik premanisme tersebut. Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengungkapkan bahwa gangguan ini disebabkan oleh ketidakjelasan pemerintah dalam menangani ormas, yang dapat mengancam investasi di Indonesia dan menciptakan ketidaknyamanan bagi para investor.
Selain itu, maraknya penutupan pabrik-pabrik di industri padat karya, termasuk industri tekstil, juga menimbulkan masalah baru berupa pengangguran. Beberapa masyarakat yang kesulitan mendapatkan pekerjaan baru dan terkena dampak sulitnya ekonomi, diduga bergabung dengan ormas sebagai jalan pintas. Namun, Esther menegaskan bahwa alasan orang bergabung dengan ormas dapat disebabkan oleh faktor lain, bukan hanya masalah ekonomi semata.
Tidak hanya itu, kehadiran ormas juga membuat investor merasa tidak nyaman, seperti yang terjadi pada pembangunan mobil listrik BYD di Subang. Aleviery Akbar, seorang pengamat properti, menyoroti bahwa premanisme pada pembangunan properti bukan hal baru, namun menjadi perhatian karena berdampak pada proyek-proyek besar. Pengusaha sebelumnya telah mengeluhkan praktik premanisme ormas, seperti permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) dan jatah proyek dari ormas, yang dapat membebani dunia usaha secara keseluruhan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dan aparat penegak hukum perlu segera bertindak untuk memberantas praktik pemerasan yang dilakukan oleh ormas. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka bisa membuat investor lebih memilih negara lain untuk berinvestasi. Keberlangsungan industri dan investasi di Indonesia menjadi terancam jika praktik premanisme ormas tidak segera diatasi.