Rakyat Guinea memberikan suara dalam referendum konstitusi baru setelah empat tahun militer merebut kekuasaan. Referendum ini dapat membuka jalan bagi pemilu dan memungkinkan pemimpin junta Jenderal Mamady Doumbouya maju sebagai calon presiden. Meskipun oposisi berencana untuk boikot referendum, sekitar 6,7 juta warga memiliki hak suara dalam pemungutan yang berlangsung sejak pukul 08.00 waktu setempat.
Pemerintah Guinea menurunkan lebih dari 45.000 aparat pertahanan dan keamanan untuk menjaga keamanan selama referendum. Negara masih berada di bawah kekuasaan Doumbouya sejak penggulingan presiden terpilih Alpha Conde pada 2021. Meskipun junta berjanji untuk mengembalikan pemerintahan sipil sebelum akhir 2024, belum ada jadwal resmi untuk pemilu presiden dan legislatif.
Kampanye referendum didominasi oleh kelompok pendukung “ya” yang aktif dalam berbagai aksi massa. Di sisi lain, kampanye “tidak” lebih banyak berlangsung di media sosial dipimpin oleh kritikus junta di luar negeri. Konstitusi baru yang akan disahkan, jika lolos, akan memungkinkan pemimpin junta serta pejabat negara maju dalam pemilu, memungkinkan Doumbouya untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Beberapa aspek dari draf konstitusi ini seperti syarat calon presiden yang berusia 40 hingga 80 tahun serta persyaratan berdomisili di Guinea telah menuai kritik keras dari berbagai pihak.
Guinea masih diskors dari Uni Afrika (AU) sejak kudeta 2021. ECOWAS juga tidak mengundang negara ini dalam pertemuan kepala negara. Kantor HAM PBB menekankan perlunya referendum tersebut dilaksanakan secara damai dan transparan, namun juga mencatat larangan terhadap partai politik dan media yang dapat menghalangi inklusivitas dan kebebasan partisipasi.