Kenaikan tarif cukai rokok dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan masalah baru di masyarakat. Sebaliknya, daripada mengurangi konsumsi rokok, kebijakan ini justru mengakibatkan makin maraknya peredaran rokok ilegal. Menurut Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Badiul Hadi, kenaikan tarif yang agresif dari tahun 2022 hingga 2024 dengan rata-rata 10% bertujuan untuk mengurangi konsumsi dan meningkatkan penerimaan negara namun hasilnya tidak sesuai harapan.
Data menunjukkan bahwa produksi rokok mencapai 323,9 miliar batang dengan penerimaan Rp218,3 triliun dan tarif naik 12% pada tahun 2022. Namun, produksi menurun menjadi 318,1 miliar batang dan penerimaan turun menjadi Rp213,5 triliun dengan kenaikan tarif 10% pada tahun 2023. Pada tahun 2024, produksi kembali turun menjadi 317,4 miliar batang, meskipun penerimaan naik tipis menjadi Rp216,9 triliun dengan tarif tetap meningkat 10%. Hal ini mengindikasikan kemungkinan bahwa negara telah melewati atau mendekati titik optimal dari kurva Laffer.
Penting untuk memahami teori dari Arthur Laffer, yang menyatakan bahwa kenaikan tarif pajak yang ekstrem tidak selalu berdampak positif pada penerimaan negara. Kebijakan tarif yang terlalu tinggi dapat melemahkan ekonomi dan daya beli masyarakat, yang selanjutnya berdampak pada penerimaan negara. Badiul menekankan pentingnya evaluasi mendalam dalam menerapkan cukai rokok, terutama dalam kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat yang sulit. Sebuah kajian berbasis data industri dan elastisitas permintaan perlu dilakukan oleh pemerintah untuk menemukan titik optimal tarif cukai tembakau.